PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Wednesday, May 27, 2009

Pengelolaan Risiko Berbasis RSA

Risk Self Assessment (RSA) perlu dilakukan oleh masing-masing unit baik Pusat, Kanwil maupun Cabang, dengan tiga alasan mendasar :

Pertama, Risiko Operasional sebagai implementasi Basel II mulai diperagakan hampir seluruh lembaga perbankan. Karena seluruh perbankan nasional melaksanakan kajian manajemen risikonya lebih banyak berbasiskan pada risiko keuangan. Sedangkan Pegadaian sebagai lembaga yang bergerak di bidang jasa keuangan justru seharusnyalah paling tepat melaksanakan Risiko Operasional ini. Mengapa demikian ? Karena di Pegadaian hampir tidak ada investasi, bahkan coba tengok cabang-cabang kita, seluruhnya bergelut di bidang operasional. Spesisifik sekaligus unik. Dikatakan unik karena belum ada padanan setara dalam hal lembaga semacam di Indonesia, sehingga aplikasi sistim informasi dan teknologi di bidang manajemen risiko pun harus di create sendiri.

Kedua, Divisi Manajemen Risiko bukanlah superbody yang mampu mengelola risiko seluruh perusahaan. Ia hanya berfungsi sebagai verifikator atas proses identifikasi risiko dan RSA yang dilakukan oleh masing-masing unit. Dan ini prinsip !

Ketiga, pada prinsipnya pula berlaku adagium yang mengatakan bahwa SETIAP MANAJER ADALAH MANAJER RISIKO. Hal ini terkait erat dengan upaya sadar risiko pada diri tiap pegawai agar semakin tumbuh dengan harapan terjadi penggabungan pengelolaan pencapaian omzet sekaligus pengelolaan risikonya.

Oleh sebab itu RSA mutlak diketahui oleh para calon Manajer Cabang seluruh Indonesia yang saat ini sedang mengikuti diklat Pengelola Cabang. Terkait pula dengan visi perusahaan yang berkeinginan menjadi champion dalam pemberian kredit kepada golongan ekonomi lemah, maka sebuah penugasan layak diberikan kepada para calon pimpinan tersebut.

Kreasi sebagai sebuah nama produk dengan kepanjangannya : Kredit Angsuran Sistem Fidusia, perlu dikaji aspek risikonya sejak peng-identifikasi-an risiko hingga melahirkan Risk Register Kreasi sampai dengan Risk Self Assessment dan berujung pada Mitigasi risiko dan Close date-nya.

Analisis saudara sebagai jawaban atas tantangan soal alinea diatas bisa dijawab melalui "comments" dibawah ini dengan mencantumkan nama dan asal kedudukan, sehingga meski pilih klik "anonymous" tetap tampil identitas diri.

Friday, May 15, 2009

H. Boediono dan Pegadaian

Saya punya pengalaman menarik sewaktu pak Boed menjabat Menteri Keuangan, namun sebelum tulisan ini berlanjut akan lebih lengkap bila pembaca budiman berkenan baca tulisan Faisal Basri di http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/05/14/pak-boed-yang-saya-kenal/

Ibu Herawati selaku isteri Menkeu saat itu berkenan membuka pameran emas terkait dengan Galeri 24, toko emas Pegadaian yang diselenggarakan di gedung Langen Palikrama, Kramat Raya Jakarta Pusat.

Saat itu Direktorat Operasi berbenah mempersiapkan acara sebaik mungkin. Panggung di setting berbentuk T dan dirancang untuk diselenggarakan pertunjukan pameran perhiasan dengan memakai peragawati yang berjalan di catwalk, seperti halnya pameran di hotel berbintang. Apalagi dihadiri isteri Menteri.

Saatnyapun tiba, bu Hera datang dengan segala kesederhanaanya, berpakaian kebaya khas yogya. Ketika acara sambutan tiba, maka kata-kata yang meluncur laksana palu godam (khususnya bagi saya), beliau katakan, dalam bahasa saya, demikian: "Pegadaian ini 'kan ngurusi orang kecil. Di daerah masih banyk yang menggadai lima ribu rupiah. Tetapi mengapa menyelenggarakan acara seperti ini. Sungguh tidak cocok !"

Mendengar itu, saya terperangah dan malu. Sebagai catatan, saya mendengar sambutan senada terulang kembali saat mengikuti Rapim di hotel Borobudur. Seorang staf ahli Meneg BUMN, mengucapkan hal serupa.

Yang saya hendak ungkap disini adalah keserhanaan pola hidup, pola pikir dan pola ucapan seorang isteri cawapres, saat tulisan ini saya buat. Sungguh sangat cocok dengan tulisan Faisal Basri diatas tentang kesederhanaan suaminya.

Bahkan sekitar 4 tahun lalu saya pernah diajak makan bersama seorang pimpinan cabang bank swasta. Ketika piring hampir kosong, baru tahu dia adalah adik kandung pak Boed. Yang sama sekali tidak pernah mengandalkan kebesaran nama kakaknya untuk mencari kedudukan. Saat ini teman saya itu bahkan sudah resign dari bank swasta tersebut dan menjadi pengusaha travel biro.

Tulisan ini menyalahi pakem standar sebuah penulisan. Semestinya 25 kata pertama menjelaskan tentang judul, tetapi ini terbalik justru ditaruh di bagian paling akhir. Penjelasan tentang kata H dalam judul diatas bukan titel Haji dari pak Boediono tetapi kepanjangan dari Herawati. Benar, saya menulis tentang pribadi ibu dengan sosok sederhana dibalik sukses keberhasilan suami.

Seorang ibu yang menjemput suami di bandara Adisoemarmo Yogya dengan mobilnya dan menyopiri sendiri, sementara ada cerita seorang menteri lain yang setiap kali pulang ke Yogya minta disambut dengan jemputan voorijders.

Saat ini ditangan saya juga ada guntingan koran yang memuat kesederhanaan tulisan pak Boed tertulis tahun 2005 dengan gaya yang mudah dimengerti namun dengan kadar ilmiah yang saya kagumi.

Memang menyelamatkan ekonomi indonesia dari keterpurukan harus berawal dari kesederhanaan dan mudah dimengerti awam.


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter