PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Thursday, November 09, 2006

New day, new reflection

Talent is God-given, be humble !
Fame is man-given, be thankful !
Conceit is self-given, be careful !

Saturday, November 04, 2006

Pegawai Teladan

Aku termenung mendengar ceritanya. Pak Wanda, 46 th, seorang Perwakilan Penjaga Cabang Pegadaian x, yang berlangganan keluar masuk RS Persahabatan entah sudah berapa puluh kali, semua perawat dan sebagian besar dokter sudah dikenalnya, barangkali hanya jajaran Direksi RSP yang belum.

Sore itu aku membezoeknya, kamar kecil itu dihuni empat orang pasien. Salah satunya adalah pak Wanda. Penyakit gula kronis dengan komplikasi maag, membuat ia meringis sambil memerlihatkan menu makanan yang terhidang, “itulah pak yang tiap hari saya makan…” Aku memandang dengan perasaan galau. “Anak saya kemarin diwisuda, saya terpaksa lari dari RS, karena ingin menghadirinya, banyak teman dari cabang yang menjenguk kecelik, padahal sampai rumah saya juga tidak bisa ikut menghadiri wisuda, tubuh saya lemah…” katanya terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya – bukan dadanya, barangkali nyeri karena maag. “Saya hanya ingin foto bersama anak saya dalam pakaian wisuda. Karena tidak kuat; akhirnya ke wisuda hanya diwakili isteri saya. Sepulang dari wisuda, anak isteri saya memanggil tukang foto kerumah, saya didandani pakai jas, terus kami foto bersama. Baru siang tadi saya balik lagi ke RS.”

Kupalingkan muka menahan sesak yang menyelinap di rongga dada. Penderitaan, penyakit dan setitik harapan ditengah keputus-asaan yang menyeruak. Bagaimana aku harus menunjukkan empatiku? Mengapa hidup terkadang sulit untuk dipahami? Mengapa seseorang yang baik, rajin bekerja, harus mengalami penderitaan sedemikian? Tidak adilkah Tuhan padanya?

Entah berapa lama aku diam tergugu, sampai ia mengulangi, “Bapak mau?” Mau apa pak Wanda ?, jawabku semanis mungkin. “Besok fotonya jadi, bapak mau datang untuk melihatnya ?” Ya..ya..ya, saya akan melihatnya. “Tapi... kasihan bapak, sekarang bensin kan mahal, dari rumah kesini habis berapa...” gerutunya seakan berkata kepada diri sendiri. Ia memang tidak tahu aku tinggal dimana dan berapa jauh dari RSP.

Lamunanku kembali mengembara, aku seakan menjadi Abraham yang sedang membopong anaknya untuk dijadikan persembahan dengan cara disembelih oleh tangan bapanya sendiri. Jubahku yang longgar dan jenggot yang panjang, serta pandang mataku yang kosong, mencari jawab atas kemustahilan perintah Nya. Kalau memang engkau terlahir untuk disembelih, anakku, kenapa engkau harus dilahirkan ?

Lalu wujudkupun berubah menjadi Kunthi. Kupandangi perutku yang membuncit. Ahh…seandainya aku tahu besok kau hanya akan berbunuhan dengan saudaramu sekandung dalam perang Kurusetra, ketika aku, ibumu meratap di pinggir arena. Seandainya aku tahu itu, akan aku urungkan kesediaan mengandungmu seperti perkataanku di depan para Dewa “Sesungguhnya aku ini adalah mahluk nestapa, jadilah padaku menurut takdirMu itu”. Sesungguhnya adilkah Sang Khalik padaku?

Segala sesuatu indah pada waktunya, waktu jualah yang akan menjawab segala arti keadilan Sang Khalik kepada umatNya. Apa yang terjadi sekarang mungkin terasa menusuk hati. Tetapi haruskah karena itu semua, kita merasa diperlakukan tidak adil? Bila demikian apa artinya Pandawa lahir, yang setelah sekian lama hidup dalam istana harus dihukum untuk mengembara di hutan sambil menolong kaum papa dan rakyat jelata karena judi yang tidak adil? Hanya karena mereka jujur ?, berarti melawan Kurawa yang adalah saudara sekandung dan untuk itu mereka harus rela tanggalkan jubah?

Yudistira diam, tidak ada gunanya membela diri, karena kebenaran telah diputar balikkan. Kebenaran sungguh tersembunyi. Keadilan seperti bayangan tubuh kita, dekat namun tak terpegang. Pada akhirnya, yang dapat dilakukan hanyalah tabah untuk menghadapi kenyataan hidup. Karena hidup ini nyata, yang harus dialami dan dijalani seperti halnya Dewi Kunthi yang nyata menghadapi ironi kehamilannya dan melahirkan dua kubu yang bertikai. Dipandangnya langkah kaki kelima anaknya yang meninggalkan istana dengan berjubah goni. Adilkah itu bagi mereka ? Duh, Dewa …dimana Engkau ?

Aku terlempar lagi kekesadaran disamping pembaringan pak Wanda, baginya hidup didampingi seorang isteri dan tiga anak yang semuanya bersekolah, bahkan yang sulung sampai lulus sarjana, adalah sebuah tindakan keteladanan. Meski tertatih-tatih menjalani hidup. Aku melihat penderitaan yang dialaminya dengan perasaan berduka. Meski tahu bahwa hidup mengandung banyak pertanyaan yang tak terjawab, tapi benarkah lautan hidup tak bertepi?. Pelan kuusap punggung telapak tangannya, sambil tersenyum ia mencermati kegundahan yang terkaca dalam mataku: “Pak tolong bawakan saya, buku kehidupan untuk saya baca. Saya ingin membaca untuk lebih memahami kehidupan ini. Dan mudah-mudahan itu melupakan rasa nyeri ini sejenak. Saya,...saya mau punya kegiatan…”

Aku terpana mendengar kata-katanya itu, bukankah keinginan punya kegiatan itu kata lain dari keinginan untuk berbuah. Itulah jawaban atas problema kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa hidup bukanlah untuk dinikmati. Hidup bukan untuk makan, apalagi memakan orang lain sebagai korban. Hidup adalah berbuat dan berbuah. Kita boleh merintih kesakitan, kita dapat terjerumus dalam penderitaan hidup akibat kenaikan harga-harga atau sulitnya mencari pekerjaan, tetapi selama kita masih sanggup untuk berbuat, kita harus melakukan sesuatu. Dengan demikian waktu hidup kita tidak terbuang percuma.

Dengan terharu aku masih melihat sisi keteladanan yang lain dalam diri pak Wanda, selain pahlawan keluarga, ia juga teladan bagi kepantang-menyerahan kehidupan dan pahlawan bagi penderitaan yang disandangnya. Sama seperti Pandawa yang meski menderita masih sanggup membantu rakyat jelata dan membasmi perampok di hutan-hutan. Hidup baru berarti jika kita berupaya untuk tidak kalah dengan derita yang menimpa kita. Maka disanalah aku melihat keadilan Sang Khalik berada.

Kini setiap kali aku membezoeknya, aku seakan melihat Yudistira sedang mengumpulkan kayu di hutan. Disana ada para brahmana yang mencari sunyi, ada penjahat yang mengintai pundi, tetapi juga ada adik-adik yang mesti dijaga hati-hati. Bahkan terngiang pesan bunda Kunthi sambil menunjuk Yudistira didepan keempat adiknya “itulah ibumu, itulah anakmu”

Ada skenario terbalik, bukan menghibur malah dihibur. Bukankah ketika kita menengok si sakit, justru kita yang mendapat hikmah penghiburan ? Kita berkumpul di depan gerbang kerajaan kehidupan ini untuk saling memberi, saling membantu, saling memahami. Hidup tidak hanya berenang dalam suka - duka kita sendiri.

Hidup saling berbagi, merupakan bagian terpenting dari keteladanan dalam pekerjaan.

Thursday, November 02, 2006

AKSES

Dalam bidang apapun akses merupakan sarana vital. Ia kadang bahkan tidak sekadar sarana tapi alat vital berbagai tujuan. Tengok, bidang teknologi informasi misalnya, akses menjadi urgen, mendesak dan perlu. Karena tanpa akses, tak akan internet tersambung. Tanpanya, tak akan BSC terhubung antar user. Disini, ia menjadi mutlak, harus ada dan bukan hanya pelengkap, suplemen, sarana atau apapun istilah yang hendak dipakai.

Di bidang ekonomi, akses juga dominan. Bahkan pemenang nobel ekonomi tahun 1998, Amartya Sen, menulis dengan amat memikat dalam bukunya "In Equality Reexamined" tentang pentingnya soal akses. Bagi Sen, akses amat penting guna meningkatkan kapabilitas orang.

Oleh karena itu, orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang.
Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi lebih karena akses yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Dalam sudut pandang korporasi, omzet sebuah kantor cabang, akan sangat ditentukan oleh akses. Apakah masyarakat punya akses ke suatu cabang, vice versa, harus dikaji secara mendalam. Dari sudut pandang 'aksesologi' ini terminologi manajemen pemasaran lalu akan diletakkan dalam konteks suatu sarana untuk membuka akses antara cabang dengan nasabahnya.

Pimpinan yang memiliki helicopter view, akan lebih bertumpu kepada akses daripada pendapatan jangka pendek. Sebab akses yang tergali pasti menumbuhkan keuntungan jangka panjang. Sebagai contoh, mari kita cermati posisi (place) cabang-cabang Pegadaian di sekililing kita dengan seksama.

Ijinkan saya mengambil contoh cabang Salemba, Jakarta Pusat. Letaknya yang di belakang dan kesulitan nasabah mencapainya secara praktis, menjadi kendala untuk mencapai lompatan tajam. Dulu, th. 1994, Cabang Pegadaian Salemba dan Cabang Pegadaian Jatinegara sama-sama menempati posisi klas satu dalam tataran klasifikasi cabang yang dibuat oleh kantor pusat. Kini cabang Jatinegara klas utama dan Salemba tetap. Itu semua, saya cari biang keladi utamanya terletak di akses.

Sudut pandang kita menjadi penyebabnya pula. Posisi kantor cabang jangan menghadap kedepan, kejalan, lihat jaman Belanda pandhuist selalu membujur ke belakang. Demikian antara lain salah satu pendapat yang mengemuka, yang akhirnya dipakai sebagai pembenar dalam 'peletakan' masalah Cabang Salemba. Padahal, kalau mau jeli. Dulu jaman Belanda cabang-cabang selalu membujur ke belakang karena agar kelihatan rumah dinas Beheerder yang dipakai oleh orang asli Belanda. Sedang inlander mesti di belakang.

Benar, bahwa keuntungan berkelanjutan - 'long term' lebih baik daripada pendapatan saat ini - 'short term'. Sebab, upah dapat memenuhi kebutuhan hidup tetapi keuntungan jangka panjang akan membuat kita memiliki masa depan.

Sehingga layak bila saya menyitir alegori penyair Jerman : Rainer Maria Rilke (1872-1926) yang menyatakan : "Apabila kehidupan sehari-hari terasa miskin, jangan kau keluhkan, tetapi sesalilah dirimu karena tidak cukup tabah untuk menggali kekayaannya"

Kembali ke masalah akses di bidang Teknologi Informasi. Online merupakan jawaban terkini 'untuk menggali kekayaan' seperti kata Rilke itu.

Saat ini, Depkominfo, sedang mengupayakan jaringan serat fiber optic terpasang di seluruh Indonesia, dan itu diperkirakan terealisasi 2008. Sekarang memang masih excisting hanya di Jawa Bali. Artinya, biaya online-isasi, tahun 2008 akan lebih murah dan lebih jernih, tidak perlu terhubung via satelit, seperti perbankan. Apa Pegadaian akan menunggu nanti ? Dijawab oleh Sen, Akses bukan sekadar networking atau relationship, tetapi lebih kearah best practise untuk menyejahterakan masyarakat. Dan kesejahteraan itu bukan masalah nanti, tetapi sekarang !

Jawaban senada pendapat Sen juga kita punyai, tertulis dalam slogan Pegadaian NOW : NOW or NEVER ! Ke laut aja lo !


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter