PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Saturday, November 04, 2006

Pegawai Teladan

Aku termenung mendengar ceritanya. Pak Wanda, 46 th, seorang Perwakilan Penjaga Cabang Pegadaian x, yang berlangganan keluar masuk RS Persahabatan entah sudah berapa puluh kali, semua perawat dan sebagian besar dokter sudah dikenalnya, barangkali hanya jajaran Direksi RSP yang belum.

Sore itu aku membezoeknya, kamar kecil itu dihuni empat orang pasien. Salah satunya adalah pak Wanda. Penyakit gula kronis dengan komplikasi maag, membuat ia meringis sambil memerlihatkan menu makanan yang terhidang, “itulah pak yang tiap hari saya makan…” Aku memandang dengan perasaan galau. “Anak saya kemarin diwisuda, saya terpaksa lari dari RS, karena ingin menghadirinya, banyak teman dari cabang yang menjenguk kecelik, padahal sampai rumah saya juga tidak bisa ikut menghadiri wisuda, tubuh saya lemah…” katanya terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya – bukan dadanya, barangkali nyeri karena maag. “Saya hanya ingin foto bersama anak saya dalam pakaian wisuda. Karena tidak kuat; akhirnya ke wisuda hanya diwakili isteri saya. Sepulang dari wisuda, anak isteri saya memanggil tukang foto kerumah, saya didandani pakai jas, terus kami foto bersama. Baru siang tadi saya balik lagi ke RS.”

Kupalingkan muka menahan sesak yang menyelinap di rongga dada. Penderitaan, penyakit dan setitik harapan ditengah keputus-asaan yang menyeruak. Bagaimana aku harus menunjukkan empatiku? Mengapa hidup terkadang sulit untuk dipahami? Mengapa seseorang yang baik, rajin bekerja, harus mengalami penderitaan sedemikian? Tidak adilkah Tuhan padanya?

Entah berapa lama aku diam tergugu, sampai ia mengulangi, “Bapak mau?” Mau apa pak Wanda ?, jawabku semanis mungkin. “Besok fotonya jadi, bapak mau datang untuk melihatnya ?” Ya..ya..ya, saya akan melihatnya. “Tapi... kasihan bapak, sekarang bensin kan mahal, dari rumah kesini habis berapa...” gerutunya seakan berkata kepada diri sendiri. Ia memang tidak tahu aku tinggal dimana dan berapa jauh dari RSP.

Lamunanku kembali mengembara, aku seakan menjadi Abraham yang sedang membopong anaknya untuk dijadikan persembahan dengan cara disembelih oleh tangan bapanya sendiri. Jubahku yang longgar dan jenggot yang panjang, serta pandang mataku yang kosong, mencari jawab atas kemustahilan perintah Nya. Kalau memang engkau terlahir untuk disembelih, anakku, kenapa engkau harus dilahirkan ?

Lalu wujudkupun berubah menjadi Kunthi. Kupandangi perutku yang membuncit. Ahh…seandainya aku tahu besok kau hanya akan berbunuhan dengan saudaramu sekandung dalam perang Kurusetra, ketika aku, ibumu meratap di pinggir arena. Seandainya aku tahu itu, akan aku urungkan kesediaan mengandungmu seperti perkataanku di depan para Dewa “Sesungguhnya aku ini adalah mahluk nestapa, jadilah padaku menurut takdirMu itu”. Sesungguhnya adilkah Sang Khalik padaku?

Segala sesuatu indah pada waktunya, waktu jualah yang akan menjawab segala arti keadilan Sang Khalik kepada umatNya. Apa yang terjadi sekarang mungkin terasa menusuk hati. Tetapi haruskah karena itu semua, kita merasa diperlakukan tidak adil? Bila demikian apa artinya Pandawa lahir, yang setelah sekian lama hidup dalam istana harus dihukum untuk mengembara di hutan sambil menolong kaum papa dan rakyat jelata karena judi yang tidak adil? Hanya karena mereka jujur ?, berarti melawan Kurawa yang adalah saudara sekandung dan untuk itu mereka harus rela tanggalkan jubah?

Yudistira diam, tidak ada gunanya membela diri, karena kebenaran telah diputar balikkan. Kebenaran sungguh tersembunyi. Keadilan seperti bayangan tubuh kita, dekat namun tak terpegang. Pada akhirnya, yang dapat dilakukan hanyalah tabah untuk menghadapi kenyataan hidup. Karena hidup ini nyata, yang harus dialami dan dijalani seperti halnya Dewi Kunthi yang nyata menghadapi ironi kehamilannya dan melahirkan dua kubu yang bertikai. Dipandangnya langkah kaki kelima anaknya yang meninggalkan istana dengan berjubah goni. Adilkah itu bagi mereka ? Duh, Dewa …dimana Engkau ?

Aku terlempar lagi kekesadaran disamping pembaringan pak Wanda, baginya hidup didampingi seorang isteri dan tiga anak yang semuanya bersekolah, bahkan yang sulung sampai lulus sarjana, adalah sebuah tindakan keteladanan. Meski tertatih-tatih menjalani hidup. Aku melihat penderitaan yang dialaminya dengan perasaan berduka. Meski tahu bahwa hidup mengandung banyak pertanyaan yang tak terjawab, tapi benarkah lautan hidup tak bertepi?. Pelan kuusap punggung telapak tangannya, sambil tersenyum ia mencermati kegundahan yang terkaca dalam mataku: “Pak tolong bawakan saya, buku kehidupan untuk saya baca. Saya ingin membaca untuk lebih memahami kehidupan ini. Dan mudah-mudahan itu melupakan rasa nyeri ini sejenak. Saya,...saya mau punya kegiatan…”

Aku terpana mendengar kata-katanya itu, bukankah keinginan punya kegiatan itu kata lain dari keinginan untuk berbuah. Itulah jawaban atas problema kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa hidup bukanlah untuk dinikmati. Hidup bukan untuk makan, apalagi memakan orang lain sebagai korban. Hidup adalah berbuat dan berbuah. Kita boleh merintih kesakitan, kita dapat terjerumus dalam penderitaan hidup akibat kenaikan harga-harga atau sulitnya mencari pekerjaan, tetapi selama kita masih sanggup untuk berbuat, kita harus melakukan sesuatu. Dengan demikian waktu hidup kita tidak terbuang percuma.

Dengan terharu aku masih melihat sisi keteladanan yang lain dalam diri pak Wanda, selain pahlawan keluarga, ia juga teladan bagi kepantang-menyerahan kehidupan dan pahlawan bagi penderitaan yang disandangnya. Sama seperti Pandawa yang meski menderita masih sanggup membantu rakyat jelata dan membasmi perampok di hutan-hutan. Hidup baru berarti jika kita berupaya untuk tidak kalah dengan derita yang menimpa kita. Maka disanalah aku melihat keadilan Sang Khalik berada.

Kini setiap kali aku membezoeknya, aku seakan melihat Yudistira sedang mengumpulkan kayu di hutan. Disana ada para brahmana yang mencari sunyi, ada penjahat yang mengintai pundi, tetapi juga ada adik-adik yang mesti dijaga hati-hati. Bahkan terngiang pesan bunda Kunthi sambil menunjuk Yudistira didepan keempat adiknya “itulah ibumu, itulah anakmu”

Ada skenario terbalik, bukan menghibur malah dihibur. Bukankah ketika kita menengok si sakit, justru kita yang mendapat hikmah penghiburan ? Kita berkumpul di depan gerbang kerajaan kehidupan ini untuk saling memberi, saling membantu, saling memahami. Hidup tidak hanya berenang dalam suka - duka kita sendiri.

Hidup saling berbagi, merupakan bagian terpenting dari keteladanan dalam pekerjaan.

4 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Selamat mas,
Kabar gembira Tuhan ternyata dapat dikemas dalam sebuah cerita menarik yang diambil dari pengalaman sehari-hari lalu dihubungkan dengan pengalaman atau tepatnya pendalaman iman penulis yang digeluti setiap hari.
Bagi pembaca akan merasa mengikuti suatu kisah menarik yang tidak menyadari dibawa ke suatu suasana atau kondisi reflektif.
Syalomm, GB Us

7:32 AM  
Anonymous Anonymous said...

what a touch story..

9:25 PM  
Anonymous Anonymous said...

waahh...sangat menyentuh hati cerita pak Kis.
hidup untuk berbagi...hem..kebijakan yang sangat menarik.
lalu mengapa ada cinta kepada wanita yang kadang melahirkan cemburu dan rasa sakit di dada?

10:34 AM  
Anonymous Anonymous said...

Pak Udi dkk.,

Rasa sakit di dada, akibat: stress, marah, dendam, cemburu, iri, dengki, kalah etc.

Semuanya bisa dilawan dengan "berbagi" syaratnya hanya satu "tulus-ukhlas". Cobalah !

1:38 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter