PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Thursday, January 31, 2008

Jika Cadangan Emas Habis, Runtuhkah Pegadaian ?

Perubahan harga emas sungguh membuat saya galau. Bagaimana tidak, kemarin (30/1/08) harga masih di kisaran 272 ribu rupiah per gram. Hari ini saya peroleh info sudah menaik menjadi 276.900 rupiah, itupun tidak ada barang. Lalu cek ke toko emas Cikini, LM berharga 281.000 rupiah. Anehnya, pemilik toko emas di Cikini menginformasikan mendapat emas dari petugas badan usaha peremasan itu yang siap melayani di Cikini. Cek via telp ke badan usaha tsb, mereka stated tidak punya wakil disana.

Yang menjadi kegelisahan saya bukan melulu harganya yang semakin meningkat, tetapi lebih ke ketersediaan barangnya yang semakin langka. Scarcity of goods (gold) ini dalam kajian ekonomi makro bisa disebabkan oleh menipisnya supply - misalnya akibat listrik mati di pertambangan Afrika - maupun meningkatnya demand berupa pembelian emas oleh perusahaan sebagai tren investasi saat ini. Aksi beli perusahaan itu merupakan bagian dari 'the blue ocean strategy' (seperti halnya beli saham) untuk mengantisipasi 'kelebihan atas kemenangan' persaingan. Setelah berjibaku dalam kancah 'red ocean'.

Namun ditinjau dari flow emas yang di ekspor, sungguh membuat saya tercengang. Sebelum perenungan ini berlanjut ada baiknya saya buat asumsi dasar, bahwa flow ekspor ini bukan berdasar data angka valid yang dikeluarkan oleh departemen anu atau lembaga per-emas-an formal. Mustahil untuk mendapatkan datanya. Tetapi data hasil kajian pertemanan, yang secara ilmiah ditertawakan tetapi nyata bin faktual.

Emas yang dilelang di cabang pegadaian, oleh para kongsi sebagian besar dilebur dan diserahkan kepada pengepul. Diatas para pengepul itu masih ada Boss Pengepul tingkat regional yang untuk sampai ke eksportir masih ada satu atau dua jalur lagi. Mari berhitung ! Anggap setiap cabang pegadaian melelangkan rata-rata 250 gram emas sebulan sekali (meski lelang sebulan 2X), dikali 900 cabang dikali 12 bulan, maka setahun sekali terkumpul 2,70 ton emas.

Ada lebih dari 10 kelompok kongsi yang beredar di cabang-cabang Pegadaian di Jakarta. Jarang diantara mereka yang menyimpan emas hasil lelang dalam waktu lebih dari seminggu, mengingat volatilitas harganya. Jika ingin untung agak berlebih, mereka lebih suka melebur sendiri. Hasil leburan itu siap ditampung oleh seorang taoke yang punya akses ke bank tertentu. Sehingga pembelian/penjualan emas tersebut keamanan likuiditasnya terjaga sepenuhnya. Mereka disuruh beli emas hasil lelang berapapun, asal harga masuk, pasti dibayar. Hal ini berdampak pada kesejahteraan mereka.

Sebagai contoh, ketika tahun 95-an saya kenal dengan kongsi di Jatinegara, maka sepuluh tahun kemudian, sebagian dari mereka bertemu dengan saya di Bekasi, sudah ada yang punya rumah di Bali, Yogya dan Medan. Bukan untuk gagah-gagahan tetapi rumah itu berfungsi ebagai homebase ketika mereka bertransaksi di kota-kota tersebut.

Kendati demikian, jarang dari mereka yang mau meningkatkan 'karirnya' menjadi eksportir. Alasannya ribet dan kadang lebih sering pat gulipat dengan penjaga keamanan bandara. Tetapi, tengok beberapa crew penerbangan dan mereka yang suka bepergian keluar negeri, didalam tentengan tas mereka selalu terlihat beberapa ons LM. Alasan profit jelas mengemuka. Rahasianya, jual emas batangan di Eropa, India dan negara-negara Arab, ternyata lebih menguntungkan dibanding jual di Indonesia. Salah seorang tetangga saya yang punya toko emas di Jaksel, misalnya, merupakan 'pengekspor' emas rutin.

Kesimpulannya, emas lari ke LN dengan modus:

1. Dibawa secara personal, baik pelancong maupun pedagang
2. Perusahaan swasta maupun badan usaha

Kembali ke judul diatas. Kegamangan menyeruak direlung hati saya yang paling dalam. Kalaulah pedagang emas di Mangga Dua sudah beralih bisnis ke jualan perhiasan imitasi, karena profit margin lebih menggiurkan dibanding emas. Jikalau, tren ekspor emas baik individual maupun perusahaan terus berlangsung. Sampai kapan kita akan membanggakan diri dengan mengatakan sembilan puluh sekian persen agunan kami terdiri dari emas. Hitunglah gram demi gram yang semakin sedikit dari tahun ke tahun !

Wahai kawan, sungguh ku tak tahu sepuluh, lima belas tahun lagi, mampukah kau berteriak selantang kami. Wahai cabang, tak dapat kubayangkan adakah batu ujimu masih tergores sisa warna kuning ? Atau haruskah kita diam, melihat bongkahan demi bongkahan emas itu lari ke negara lain ? Atau kau lihatlah senyum mengejek para pedagang yang sudah mengalihkan bisnisnya ke perhiasan imitasi ? Kau terlambat..!, katanya.

Moral story, ketergantungan pegadaian akan agunan emas harus dikaji ulang. Sudah saatnya, bisnis berbasis teknologi informasi dimulai untuk memperbesar Fee Based Income. Saya yakin, kedepan FBI layak mengganti emas. Setuju ?

Friday, January 18, 2008

Kura-kura

SENO GUMIRA ADJIDARMA
Catatan Desember

Saya baru saja pindah rumah—dan kura-kura saya ikut. Sudah berapa kali saya pindah rumah? Mula-mula karena pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain, kemudian setelah punya rumah, masih juga dipersilakan pindah oleh banjir, yang memang datang berkali-kali tanpa tanda-tanda akan berhenti.

Dalam semua peristiwa itu, kura-kura tersebut selalu ikut. Waktu banjir besar tahun 2002 maupun 2007, kura-kura itu selalu menghilang, tetapi selalu kembali lagi, merayap melalui pintu depan setelah air surut. Bukankah banjir memang tak menjadi masalah bagi seekor kura-kura?


Dialah satu-satunya dari empat kura-kura yang masih bertahan dalam gerusan waktu. Dua ekor langsung mati setelah dua minggu, yang dua bertahan lama bersama-sama. Sekarang, mungkin setelah 25 tahun, tinggal satu ekor. Sebetulnya itu bukan kura-kura saya, melainkan kura-kura anak saya. Saat pemiliknya mengepakkan sayap dan meninggalkan rumah, kura-kura itu tetap tinggal, tetap selalu menatap saya dengan pandangan seolah-olah mengerti.

Apakah yang bisa dimengerti oleh seekor kura-kura? Entahlah. Namun, ada yang saya coba mengerti dari pengalaman saling menatap selama 25 tahun itu.

Misalnya bahwa ia hidup sendirian dalam beberapa tahun terakhir, karena satu-satunya kura-kura yang menjadi teman hidup telah dibunuhnya. Mereka memang selalu berebut makanan. Selalu saling menyakiti sehingga terlalu sering terpaksa saya memisahkannya. Teman yang satunya itu selalu kalah dan selalu tertindas, tetapi selalu melawan agar tetap mendapat makanan.

Pertanyaan saya, apakah survival of the fittest ini masih harus berlaku ketika satu-satunya kolam hanya dihuni oleh dua kura-kura itu saja? Istilah "dunia milik kita berdua" bagi manusia tidak berlaku bagi kura-kura.

Apakah arti hidup bagi kura-kura yang telah menguasai dunia itu, jika sisa hidup, yang barangkali masih akan lama, dijalaninya sendirian saja? Apakah dia puas dan bisa menikmati kekuasaannya, ataukah dia kesepian? Melihatnya berenang sendirian, berjemur diri di bawah matahari, atau menyeret tubuhnya di antara kaki-kaki kursi di dalam rumah, saya melihat suatu paradoks: Di satu pihak, ia bagaikan seorang penguasa tunggal dalam dunianya; di lain pihak, ia tak lebih tak kurang hanyalah makhluk lemah, yang tentu saja tidak menyadari kelemahannya sama sekali.

Tapi, tidakkah kita semua kadang-kadang begitu?


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter