PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Friday, January 18, 2008

Kura-kura

SENO GUMIRA ADJIDARMA
Catatan Desember

Saya baru saja pindah rumah—dan kura-kura saya ikut. Sudah berapa kali saya pindah rumah? Mula-mula karena pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain, kemudian setelah punya rumah, masih juga dipersilakan pindah oleh banjir, yang memang datang berkali-kali tanpa tanda-tanda akan berhenti.

Dalam semua peristiwa itu, kura-kura tersebut selalu ikut. Waktu banjir besar tahun 2002 maupun 2007, kura-kura itu selalu menghilang, tetapi selalu kembali lagi, merayap melalui pintu depan setelah air surut. Bukankah banjir memang tak menjadi masalah bagi seekor kura-kura?


Dialah satu-satunya dari empat kura-kura yang masih bertahan dalam gerusan waktu. Dua ekor langsung mati setelah dua minggu, yang dua bertahan lama bersama-sama. Sekarang, mungkin setelah 25 tahun, tinggal satu ekor. Sebetulnya itu bukan kura-kura saya, melainkan kura-kura anak saya. Saat pemiliknya mengepakkan sayap dan meninggalkan rumah, kura-kura itu tetap tinggal, tetap selalu menatap saya dengan pandangan seolah-olah mengerti.

Apakah yang bisa dimengerti oleh seekor kura-kura? Entahlah. Namun, ada yang saya coba mengerti dari pengalaman saling menatap selama 25 tahun itu.

Misalnya bahwa ia hidup sendirian dalam beberapa tahun terakhir, karena satu-satunya kura-kura yang menjadi teman hidup telah dibunuhnya. Mereka memang selalu berebut makanan. Selalu saling menyakiti sehingga terlalu sering terpaksa saya memisahkannya. Teman yang satunya itu selalu kalah dan selalu tertindas, tetapi selalu melawan agar tetap mendapat makanan.

Pertanyaan saya, apakah survival of the fittest ini masih harus berlaku ketika satu-satunya kolam hanya dihuni oleh dua kura-kura itu saja? Istilah "dunia milik kita berdua" bagi manusia tidak berlaku bagi kura-kura.

Apakah arti hidup bagi kura-kura yang telah menguasai dunia itu, jika sisa hidup, yang barangkali masih akan lama, dijalaninya sendirian saja? Apakah dia puas dan bisa menikmati kekuasaannya, ataukah dia kesepian? Melihatnya berenang sendirian, berjemur diri di bawah matahari, atau menyeret tubuhnya di antara kaki-kaki kursi di dalam rumah, saya melihat suatu paradoks: Di satu pihak, ia bagaikan seorang penguasa tunggal dalam dunianya; di lain pihak, ia tak lebih tak kurang hanyalah makhluk lemah, yang tentu saja tidak menyadari kelemahannya sama sekali.

Tapi, tidakkah kita semua kadang-kadang begitu?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter