Jumat, 28 Desember 2012
RHENALD KASALI
Guru Besar FE-UI
Di banyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa Smile.
Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini. ”Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu.” Namun, anak-anak itu tetap tak mau menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.
Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior mengingatkan, ”Kami bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.”
Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi di sini? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anak anak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.
Dihafal, bukan dipikir
Anak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatan-singkatan agar mudah dikeluarkan dari otak.
Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan ”penumpang” ketimbang ”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.
Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin memberatkan.
Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: ”Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan ”Dihafal saja karena bukunya berkata demikian”. Ibu di rumah berkata serupa: ”Kalau engkau mau naik kelas, dihafal saja.”
Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.
Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karyakarya calon mahasiswa.
Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.
Kurikulum berpikir
Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus, semata-mata kalau dirinya tampak bagus.
Bagi saya, perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi mindset ”penumpang” menjadi cara berpikir ”pengemudi”. Transformasi ini berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.
Keduanya menunjukkan cara-cara baru membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21.
Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.