PEGADAIAN Indonesia

mengatasi masalah tanpa masalah

Thursday, November 18, 2010

OBAMA PULANG KAMPUNG


Obama Pulang Kampung
Oleh: Rhenald Kasali *

SEBAGIAN dari pembaca mungkin kurang senang dengan Amerika dan kurang bisa menerima kedatangan Obama.

Kedatangan Obama membuat lalu lintas Jakarta macet. Sebagian lagi, entah belajar dari mana, menyatakan amarahnya kepada Obama dengan kalimat-kalimat yang menyeramkan di akun Facebook.Sama seperti sekelompok pemuda yang menggelar spanduk besar di depan pintu gerbang Kampus UI saat Obama datang kemarin dengan tulisan "Tolak Obama". Tapi ribuan anak muda yang lain, hari Rabu ikut antre bersama dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, pelajar SMA, guru, dosen, dan para intelektual menyambut Obama pulang kampung.

Di depan saya ada rombongan para bidan yang sedang melanjutkan studi di UI ikut antre berdesak-desakan dengan para guru besar dan pelajar, bersama-sama dengan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail. Mereka semua berteriak gembira saat mendengar ucapan-ucapan simpatik Obama yang fasih mengucapkan kata-kata "Dari Sabang sampai Merauke","Bhinneka Tunggal Ika" sampai "Assalamualaikum" dengan lidah mirip artis Cinta Laura, apalagi saat ia mengatakan," Diri saya adalah bagian dari Indonesia." Sejak Indonesia mengadopsi cara-cara demokrasi, sudah tidak ada lagi suara tunggal dalam memandang sesuatu.Semua pendapat itu tumbuh sama suburnya dan sama semangatnya.Ada yang memandang Amerika itu jahat, tetapi ada yang berpikir sebaliknya.

Jahat dan Baik

Anda mungkin masih ingat pesan ibunda seorang anak yang menderita autis dalam film My Name Is Khan.Dalam film itu Khan, seorang pemuda muslim, pernah terekspose sebuah pesan bahwa orang-orang Hindu jahat, sedang muslim baik. Ibundanya pun membersihkan pikiran putranya. "Tidak benar begitu, yang benar dalam setiap penganut agama apa pun selalu ada orang baik dan ada orang jahat." Kita semua mungkin pernah mengalami ekspose yang demikian.

Dulu sewaktu kuliah selalu saya saksikan kalimat-kalimat yang "mengafirkan", bahkan "menajiskan", penganut agama yang berbeda. Bahkan dalam satu agama pun, begitu berbeda paham, seorang teman dengan entengnya berujar, "Aku beri tahu ya, darahmu itu halal." Yang lainnya menunjukkan ayat-ayat lain dalam suatu pemilihan ketua senat mahasiswa (semacam BEM sekarang) yang intinya bahwa mereka diwajibkan memilih "pemimpin yang berasal dari mereka". Secara implisit dapat saja seseorang menafsirkan begini: "haram untuk dipimpin oleh orang yang berbeda agama".Atau "pemimpin itu imam,maka berarti imam harus seiman karena hanya yang seiman itulah yang suci,yang lain kafir".

Di tempat lain––juga di dalam kampus––saya sering melihat poster-poster besar yang dipasang penganut suatu agama lain yang mengklaim keyakinannya sebagai kebenaran mutlak.Dengan menyebut nama nabi besarnya,ditulislah kalimat-kalimat besar sesuai dengan yang ada pada ayat kitab sucinya sebagai "satu-satunya jalan" bagi kebenaran dan kehidupan yang kekal abadi. Bahkan ada yang dengan terbuka mengatakan "terang tidak bisa bercampur dengan gelap"karena keyakinan yang dianutnya sebagai "terang",maka penganut agama lain adalah "gelap".

Bagi orang yang gegabah, hal ini (kata gelap) juga dapat ditafsirkan sebagai sesat, tak berujung, tak ada kehidupan kekal (surga). Begitulah sebagian besar kita dibesarkan dalam memori berpikir yang kacau. Di satu pihak begitu kuatnya dogma tentang kebenaran internal masing-masing, di lain pihak kita dibentuk dan dilahirkan dengan falsafah bernegara kesatuan dengan landasan Pancasila yang menghargai keberagaman, kebinekaan. Maka tidak aneh kita menyaksikan amuk massa dan kebencian terhadap keyakinan orang lain telah tumbuh dan terjadi di mana-mana yang ditunjukkan para "pemuja Tuhan".

Spirit itu juga membentuk pemahaman kita tentang toleransi beragama di sini yang kadang terasa menggetirkan atau saat menyaksikan hadirnya tamu-tamu asing dengan latar belakang yang berbeda. Spirit membenci kini telah merebak ke mana-mana, termasuk pada isme-isme ekonomi. Saya sering merasa aneh saat menyaksikan pemikir-pemikir hebat, mantan menteri, pengamat, dan seterusnya yang dengan lantangnya menuduh orang lain "tak bermoral", "neolib", dan seterusnya. Kebencian kok disebarluaskan?

Refleksi

Bangsa-bangsa yang cara berpikirnya kacau seperti di atas akhirnya akan sulit membangun kekuatan daya saing ekonominya. Selain tidak bersatu,tidak ada alignment, bangsa seperti itu menjadi kehilangan kesatuan, berorientasi jangka pendek (instant gratitude), mudah tersinggung, gemar membalas dendam,menggunakan caracara yang tidak jantan dalam berperang, dan secara spiritual jauh dari rasa syukur. Setiap kali menerima banyak, ia akan menuntut lebih banyak lagi karena rasanya baru sedikit yang didapat.

Sebaliknya saat memberi sedikit dari apa yang dimilikinya, tangannya diangkat-angkat ke atas setinggi langit karena seakan-akan dia telah memberi banyak sekali. Di tengah-tengah kedatangan Obama yang memberikan kuliah umum di kampus saya kemarin, saya pun merenungi pesan-pesan moral yang ia tawarkan: kesetaraan gender,toleransi beragama,dan spirit hidup berdemokrasi. Bagi saya, demokrasi dapat kembali ke titik nol bila anak-anak kita dididik dengan cara berpikir yang kacau seperti generasi kita. Anak-anak kita jelas membutuhkan lebih dari sekadar "kuliah" tentang NKRI dan pluralisme. Anak-anak kita butuh life skills yang menjadi kunci untuk menghadapi persaingan global.

Life skills itu, menurut neuroscientist Ellen Gallinsky, antara lain adalah reflecting dan inhibitory control. Ya, anak-anak kita membutuhkan life skills dalam menghadapi serbuan serangan informasi agar mampu melakukan fokus dan self control baik dalam belajar maupun menghadapi tekanan hidup.Namun, anak-anak kita perlu juga belajar bagaimana caranya menahan mulut dan perasaanperasaannya yang dapat menyakiti orang lain (inilah yang disebut Gallensky sebagai inhibitory control).

Dan yang juga penting adalah keterampilan berefleksi, yang berarti kemampuan berempati, merasakan apa yang dirasakan pihak lain, yaitu pihak yang kita ajak berperang,yang kita perangi. Apalagi mereka adalah minoritas, miskin, tak bertenaga, tergusur, sedang tertimpa bencana, tak memiliki banyak kekuatan, apalagi sendirian. Obama memang bukan minoritas yang lemah. Ia memang datang dari sebuah kekuatan adidaya yang dapat saja bertindak semena-mena. Namun seperti bangsa-bangsa adidaya dan pemilik kekuatan secara mayoritas di mana pun, selalu ada orang jahat dan selalu ada orang baik.

Saya melihat mata yang teduh, semangat persaudaraan dan kejujuran ada di mata Obama. Ia memiliki "mata baik" yang perlu kita sambut dengan hati terbuka, tapi tetap waspada. Anda boleh tidak setuju, tetapi saya percaya ucapannya saat ia mengatakan: "Indonesia bagian dari diri saya." Semoga kita tidak salah.(*)

* Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI.


Damai Sejahtera @ Terima Kasih

Free Website Counter